Paralelia - Cerpen Cinta Romantis

PARALELIA
Karya Dwi Surya Ariyadi

Aku masih terduduk di salah satu sudut ruangan. Menatap layar monitor yang menyala dihadapanku saat ini. Entah apa yang aku buka. Hanya sesekali kulihat lalu aku tutup kembali. Pikiranku terbang tidak jauh dari aku duduk. Tapi bagiku sangat jauh untuk kugapai.

Huh dia lagi, gumamku tak jelas. Tampak deretan komputer yang berjajar rapi di ruangan ini menyembunyikan keberadaanku. Ditambah pencahayaan ruangan yang agak temaram kekuningan dan suasana luar menjelang senja. Seperti menenggelamkan diriku dalam hiruk pikuk ruangan komputer ini.
Aku menghela napas. Dia tidak melihatku atau sengaja tidak ingin melihat. Aku masih menatapnya dari jauh. Berharap terjadi kontak mata yang menunjukkan keberadaanku kepadanya. Aku melihat jam di layar monitor. Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Sudah lebih dari dua jam aku disini. Menghabiskan waktu sore selepas kuliah yang melelahkan sejak pagi.

Paralelia
5 menit, 10 menit, 15 menit sudah aku menatapnya. Dan ia tidak memperhatikanku. Aku tahu dia hanya bersantai di ruangan ini. Tidak sedang mengerjakan sesuatu yang serius. Sama seperti apa yang aku lakukan saat ini. Dan seperti yang kami lakukan saat itu. Apakah aku harus menyapanya terlebih dahulu. Atau aku biarkan saja hingga sebuah ketidaksengajaan ia melihatku terjadi.
Apa yang harus aku lakukan? Terus memandangnya hingga kedua pandangan kami saling beradu. Atau beranjak menghampiri dan menyapanya.
***

“Hai bengong aja”. Seseorang menepuk pundak kiriku. Aku terkejut kemudian menoleh kearahnya. “Kamu, bikin kaget, darimana?”, tanyaku setelah mengetahui siapa dia. “Biasa ada yang harus di fotocopy jadi terpaksa tunggu dulu sampe selesai”, jawabnyanya. Ia menarik kursi disebelahku agak mendekat. Ia lalu duduk dan aku kembali sibuk dengan monitor di depanku.
“Udah dapat materinya”, tanyanya sambil mengeluarkan beberapa lembar kertas berisi catatan. Aku meraih satu lembar kertas tersebut dan membacanya. “Rajin juga ia, menulis semua secara detail”, pikirku.
“Jadi untuk presentasi besok, kita kelompok tiga”. Aku berkata sambil memandangnya. Dia mengangguk. Segera aku disibukkan untuk mencari materi kuliah yang akan kami gunakan untuk presentasi. Kubuka halaman internet satu persatu. Aku menulis berbagai kombinasi kata kunci di mesin pencari. Aku mencoba banyak kemungkinan pilihan kata. Aku buka jurnal-jurnal dan aku cari semua yang berhubungan dengan materi tersebut.

Kuakui untuk soal cari-mencari, aku sedikit melebihinya. Tapi dia pandai dalam memahami suatu materi kuliah. Dan dia lebih tahu apa yang harus dicari dan apa yang penting serta apa yang harus disingkirkan. Untuk itu dia membutuhkan pertolonganku ketika ingin mendapatkan materi kuliah terutama yang sulit-sulit. Sedangkan aku akan membaca ringkasannya. Suatu hubungan yang menguntungkan setidaknya untuk saat ini.
***

Bruk, dua orang saling bertabrakan di depan pintu masuk.
“Eh, maaf”, katanya. Ia lalu jongkok dan merapikan kertas-kertas yang jatuh berserakan. “Jen, kamu gak apa-apa”, kutanya orang yang tak sengaja menabrakku tadi. Aku mengenalnya. Kulihat dia sangat terburu-buru. Dia tidak menyadari aku yang ditabraknya. Aku bantu ia untuk merapikan kertas-kertasnya. “Kamu, maaf banget gak sengaja, abis buru-buru udah sore”, ia menoleh kearahku. Ia tersenyum. Kertas yang telah aku rapikan kuserahkan kepadanya. “Terima kasih”, katanya singkat sambil mengulurkan tangan mengambilnya.
“Ngapain disini”, tanyanya. “Biasa ada tugas kuliah jadi aku kesini cari bahan”, jawabku. Aku sendiri juga bingung mengapa ada disini. Tapi sudahlah segera aku berpaling padanya. “Ya udah duluan ya”, ia tersenyum lalu melambaikan dan pergi meninggalkanku. Aku balas senyumannya.

Aku tidak jadi masuk. Ada bangku panjang di depan ruangan komputer ini. Aku lalu duduk disana. Aku lihat orang-orang yang berada di dalam ruangan itu. Aku perhatikan satu per satu. “Dimana dia?”, tanyaku dalam hati. Mataku mengarah ke jam dinding yang tergantung di tembok tengah ruangan sebelah kiri. Waktu menunjukkan pukul 6 petang. Sudah hampir malam. Apakah ia masih di dalam atau sudah keluar. Mataku kuarahkan ke tempat dimana ia duduk. Kosong, tidak ada orangnya. Pasti dia sudah keluar. Tapi kenapa aku tidak melihatnya. Aku benar-benar tidak berbicara dengannya kali ini. Setidaknya mengetahui keberadaan dirinya sudah cukup bagiku.
***

Aku buka buku catatan dan aku tulis beberapa kata kunci yang harus aku cari nanti. Aku buka lembar demi lembar untuk mencari halaman kosong. Aku menulis dengan ringkas. Setelah selesai, aku masukkan kembali ke dalam tas. Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Masih cukup waktu.
Aku berjalan menelusuri koridor gedung. Dan tiba di area depan fakultas. Aku melihat sekeliling. Berharap ada orang yang aku kenal. Ternyata tak ada satupun yang ku kenal disana. Kutinggalkan tempat ini. Aku terus berjalan melalui jalan setapak merah di samping fakultas.
Musim penghujan seharusnya saat ini turun hujan. Tapi sudah lebih dari dua minggu, tak satupun tetes air yang jatuh ke bumi. Udara panas dengan matahari cerah, mengelabui mata kalau bulan ini seharusnya banyak turun hujan.

Aku sampai di perpustakaan dan segera menuju ruang komputer. Udara dalam ruangan ber-AC membuatku segar dan menghilangkan penat. Aku meletakkan tas di bawah meja lalu menyalakan komputer di hadapanku.
“Eh”, kagetku tiba-tiba. Seseorang mencolek pundak kananku dari belakang. Sontak aku membalikkan badan. “Jen, dia lagi”, kataku dalam hati setelah mengetahui siapa orang tersebut. Sedang apa ia disini. Aku jarang melihatnya ketika berkunjung kesini. Kemarin pun aku tak menduga ia berada di dalam.
Ia tersenyum. Meraih kursi dan menariknya mendekat. Ia lalu duduk dan matanya menatapku berbeda. Ya, berbeda dari biasa kami bertemu. Aku mengenalnya cukup lama. Tapi kali ini ia tampak tidak seperti biasanya. Apa yang terjadi pada dirinya? Aku menghela napas dan kualihkan pandangan ke layar monitor.
ada waktu besok minggu”, tanyanya dan aku segera menoleh kepadanya. “Besok minggu”, kembali ia mempertegas pertanyaan kepadaku. “Ada apa?”, jawabku dengan pertanyaan balik kearahnya. Aku heran dengan dia kali ini. Benar-benar bukan ia yang aku kenal.

Ia tersenyum kecil, lalu berkata, “minta waktu ketemu bisa kan?”. Tanpa berpikir panjang aku tidak menolaknya. Aku yakin pasti ada sesuatu yang penting. Kemarin aku melihat ia terburu-buru. Aku yakin bukan karena waktu yang menjelang sore. “Bisa”, aku mengangguk. “Terimakasih, besok aku kabari lagi”, katanya. Segera ia beranjak dari kursi. Ia seperti tahu kalu aku sedang ingin sendiri
Kembali aku menatap layar monitor di depanku. Tanganku mulai mengetik. Kulirik jam menunjukkan pukul 3.30. Setengah jam menatap monitor, mataku mulai lelah. Kembali kusapu pandangan ke seluruh ruangan. Sekedar mengistirahatkan mata sejenak. Pandanganku terhenti. Dia lagi, aku terkejut kali ini. Kulihat seseorang yang sama seperti kemarin. Dia tampak telah lama berada disini. Apa dia sebenarnya sadar keberadaanku disini?.
***

“Sudah selesai”, tanyaku padanya. “Sebentar, dikit lagi”, ia melanjutkan menulis. Selang lima menit, ia telah keluar ruangan dan menghampiriku. “Jadi bersepeda keliling kampus?”, tanyaku. Aku melihat dia mengeluarkan sesuatu. “Jadi lah, aku kan udah bawa kartu mahasiswa, ayo cepet”, serunya sambil menarik tanganku.
“Kau tahu film yang membuat penontonnya menjadi semakin bingung setelah menontonnya?”, tanyaku memulai pembicaraan. “Aku tahu ada beberapa. Itupun kau yang memaksaku menontonnya. Kau kan tahu sendiri aku tidak suka nonton yang berat=berat”, jawabnya. “Tapi disinilah serunya”, kataku berusaha berlagak seperti pengamat profesional. “Ada satu film sampai sekarang membuatku berpikir bahwa ada dua alur cerita dalam satu film. Pertama tokoh utama sakit secara psikologis dari awal sehingga apa yang dilihatnya tampak nyata walau sebenarnya adalah ilusi. Kedua, sengaja dikondisikan sakit. Yaitu sengaja membuat tokoh utama mengikuti alur xerita yang telah disusun oleh tokoh lain sehingga diakhir ia tidak yakin apakah yang dilihatnya nyata atau tidak”.
“Aku tahu film yang kau maksud”, katanya. “Menurutku apakah itu semacam kepribadian ganda. Mungkin saja tokoh tersebut berperan dalam setiap alur cerita yang saling tumpang tindih. Maksudku, ia menjadi X dalam kondisi A atau A dalam kondisi Z. Misalnya kau menjadi orang lain ketika bertemu teman-temanmu, tetapi menjadi dirimu lagi saat bersamaku. Namun kamu sendiri tidak yakin mana yang benar-benar dirimu sendiri. Apakah saat bersama teman-temanmu atau aku? Ketika keraguan muncul, kamu seperti berada dalam sebuah pertentangan. Dan kamu mengeluarkan dirimu semuanya dalam satu kondisi”.
“Bisa juga seperti yang kau katakan”, kataku menimpalinya. Aneh sekali bisa-bisanya dia berkata seperti itu. “Tapi setelah nonton tiga kali, aku masih berpendapat ada dua pilihan cerita. Dan keduanya sama kuat dan meyakinkan”.
Kami pun bersepeda mengelilingi kampus melalui jalur sepeda yang dibangun beberapa waktu lalu. Sambil bersepeda aku dan dia berbicara banyak hal.
***

Aku masih menatapnya. Apa yang kulakukan kali ini? Aku menghela napas panjang. Kembali 15 menit kuhabiskan hanya untuk melihatnya dari jauh. Sesekali dia tersenyum, tapi bukan kepadaku. Dia mengajak seorang teman. Aku kenal siapa yang dia ajak. Jadi apa yang harus kulakukan. Beranjak menyapanya atau tetap menatapnya berharap pandangan kami saling beradu. Kulirik jam, hampir pukul 5.

Pikiranku masih berkecamuk. Dan tanpa kusadari mata kami telah bertemu pandang. Dia memandangku. Serasa dingin menyelimuti kepalaku. Pikiran terhenti sejenak. Semua hanya sementara. Kugapai kembali kesadaranku. Kupijak kembali lantai ruangan ini. Aku kembali menapakkan kaki. Aku kembalikan napas yang sempat tak beraturan.

Aku bangkit dan mendekatinya. Entah apa yang menarikku kesana. Seperti magnet, dia positif dan aku negatif. 25 meter jarak yang memisahkan aku dan dia serasa sepoluk kali lipat lebih jauh. Tapi dorongan lain mempercepat langkahku. Dan kusadari aku telah berdiri disampingnya. Dia berdiri dan menjulurkan tangan. “Apa kabar?”, tanya padaku. Suaranya seperti sesuatu yang hilang dan telah kembali. Aku mengenal suara itu. “Lama tak lihat kamu disini”, tanyaku. Apa yang kukatakan barusan. Terucap begitu saja dari mulutku. Dia tersenyum dan berkata, “kenapa tak lagi mengajakku jika kau kesini”. Senyuman itu menghapus kekakuan yang menyelimutiku. “Itu tidak mungkin lagi kulakukan”, jawabku. Aku berusaha kembali seperti diriku yang dikenalnya. Hingga akhirnya aku mengerti mengapa aku menghampirinya.

*TAMAT*

PROFIL PENULIS
Nama : Dwi Surya Ariyadi
Alamat : Ds. Kalimeneng Rt/Rw 02/02, Kemiri, Purworejo, Jawa Tengah 54262
No. Hp : 085289363814
Email : ariyadi.dwisurya@gmail.com

Labels: ,